BALITREN.COM-Saatnya ekosistem Karbon Biru (Blue Carbon) menjadi prioritas utama dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir di Indonesia maupun global.
Apalagi mangrove dan padang lamun dapat menyerap dan menyimpan karbon alami (carbon sink) yang sangat besar dalam waktu yang sangat lama, bahkan lebih banyak dari hutan terestrial.
“Kami yakin jika ekosistem Karbon Biru Indonesia ditata dan dikelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim,
kita pasti bisa berkontribusi lebih banyak dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29%
secara nasional, dan 41% secara global hingga tahun 2030.
Nah, kita harus berpacu juga untuk menjaga dan merehabilitasi ekosistem Karbon Biru kita yang semakin terdegradasi,” jelas J. Rizal Primana, Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, ketika menjadi pembicara kunci bersama Jiro Tominaga, Country Director Asian Development Bank
(ADB) untuk Indonesia, dalam Seminar, “Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital”
di Nusa Dua Convention Centre, Bali, (8/8/2022).
Sebagai catatan, luas padang lamun di Indonesia termasuk terluas di dunia hingga 293.465-875.957 Ha,
dan mampu menyerap karbon hingga 119,5 ton karbon per hektar. Begitu pun dengan mangrove Indonesia yang seluas 3,3 juta Ha adalah terbesar di dunia, dan mampu menyimpan karbon sebanyak 950 ton karbon per hektarnya.
Namun luas padang lamun di Indonesia, menurut hasil kajian Pusat Riset Oseanografi
Indonesia dalam Buku Status Ekosistem Lamun di Indonesia tahun 2021 disebutkan ekosistem ini mengalami penurunan sebesar 2,8% per tahun atau sekitar 0,4 ha per tahun pada periode 2015-2021.
Sementara mangrove Indonesia, dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) menyebutkan kurang lebih seluas 637.824,31 Ha (19,28%) berada pada kondisi kritis
“Ke depan, kita ingin memastikan ekosistem Karbon Biru bisa masuk NDC (Nationally Determined Contribution).
Tentu saja harus melalui perencanaan pembangunan Karbon Biru yang berkelanjutan, dan harus didukung
komitmen semua pihak. Untuk mencapai ini diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat mengakomodasi
semua pihak,” jelasnya.